Jumat, 01 Maret 2013

Pekojan Semarang

Sejarah Pekojan Semarang.. DI Pekojan, salah satu wilayah yang terletak di Kelurahan Purwadinatan, Kecamatan Semarang Tengah, tiga etnis yang berbeda, yakni Cina, Koja dan Jawa hidup berdampingan sejak lebih 100 tahun. Tidak tercatat sejarah hitam dalam hubungan ketiganya. "Hubungan kami baik-baik saja," ujar Mulyono Candra (39), anak pemilik toko kaca Surya, yang sekarang menggantikan ayahnya. Mulyono saat ini adalah Ketua RT 1 RW 01. Waktu kecil ia bermain dan berbaur dengan anak-anak di kampung. "Ndak ada yang nyina-nyinain saya kalau kebetulan kami bertengkar waktu kecil," ia melanjutkan. "Saya sendiri tidak bisa ngomong Cina lagi," ujar anak pertama dari lima bersaudara yang sampai saat ini masih tinggal bersama ayahnya di Kampung Sekolah, yang hanya berjarak sekitar 150 meter dari tokonya. Kerukunan antarwarga masih terjaga sampai saat ini. Surahman, Lurah wilayah Purwadinatan 10 tahun terakhir ini belum pernah menemui satu kasus pun mengenai pertengkaran etnis. Ketiga etnis masyarakat itu tetap mengembangkan kebudayaan masing-masing tanpa saling menyinggung. "Seni terbangan dari Pekojan amat terkenal di Semarang," ujarnya, "Sebaliknya, upacara yang menggunakan barongsai tetap berlangsung, meski pun tidak ada arak-arakan lagi. Malah kadang menjadi atraksi yang ditonton wisatawan." Sedangkan etnis Jawa, menurut Pak Modin Achmad Tohir, lebih fleksibel, lebih mudah bergaul dengan kedua etnis lainnya. Selain itu, "Kami punya Forum Tiga, suatu pertemuan yang dilakukan setiap bulan pada tanggal tiga," kata Surachman. Dalam forum yang dilangsungkan secara bergiliran di setiap RT, para wakil warga berForum Tiga, suatu pertemuan yang dilakukan setiap bulan pada tanggal tiga," kata Surachman. Dalam forum yang dilangsungkan secara bergiliran di setiap RT, para wakil warga berkumpul bersama pejabat pemerintah lokal untuk membicarakan persolan di lingkungan itu. Dengan begitu, menurut Surachman, "Kami dapat menyerap aspirasi masyarakat secara langsung." Pembauran terjadi dengan sendirinya. Kalau pada tahun 1960-an, masyarakat Koja masih kawin dengan kaumnya, keadaan ini berangsur hilang. "Sekarang sudah campur. Keturunan Koja menikah dengan Jawa. Keturunan Cina juga begitu, sudah campur baur," ujar Surachman, meski mengakui hampir tidak pernah terjadi perkawinan antar entnik Koja dan Cina. "Kalau untuk pekerjaan kemasyarakatan, semua kelompok mengerjakannya bersama-sama," sambungnya. "Pada setiap peristiwa yang terjadi seperti kematian atau hajatan, kami selalu berusaha datang, karena di situ kami bisa bertemu dengan sesama warga," sambung Mulyono yang juga aktif membantu setiap acara yang diadakan pihak kelurahan. Ada juga hal lain yang dapat dikatakan merekatkan mereka dengan budaya setempat. Mulyono saat ini namanya dikenal di kalangan pengkoleksi keris. Ia belajar perkerisan keris selama lima tahun di Solo seusai SMP. "Dari kecil saya sudah suka keris," katanya. Ia juga membuat keris, baik untuk cindera mata mau pun untuk keperluan yang lebih ''serius". * * * PEKOJAN memang berasal dari kata "Koja". Artinya, kampung orang-orang Koja. Tidak jelas dari mana mereka berasal, tapi mereka bukan berasal dari kawasan Timur Tengah. Kelompok masyarakat ini hanya memeluk agama Islam. Dalam Merchant and Rulers in Gujarat yang ditulis M.N. Pearson dan Muslim Communities in Gujarat yang ditulis Satish Misra dinyatakan, masyarakat Khojah merupakan satu dari puluhan kelompok masyarakat Muslim yang tinggal di Gujarat, di Pantai Barat India. Mereka adalah pedagang yang tangguh dan berani melayari Samudera Raya dan tiba di negeri lain, termasuk Indonesia, Jawa khususnya, untuk berdagang, sekaligus menyebarkan agama Islam. Clifford Geertz menyebut mereka sebagai varian santri. Ciri yang mirip dengan masyarakat Koja di Semarang, seperti dikemukakan Prof Dr H Abu Suud (Semarang, Sepanjang Jalan Kenangan: 1996), menguatkan dugaan, bahwa masyarakat Koja di Semarang mungkin ada hubungannya dengan masyarakat Khojah di Gujarat, India. Di wilayah Kelurahan Purwadinatan yang jumlah penduduknya saat ini 5172 jiwa (1036 KK), 30 persen di antaranya adalah keturunan Cina, 30 persen Koja dan 40 persen Jawa. "Saya ini asli orang Jawa, Nak,"ujar Abdullah Amin (80) dalam Bahasa Jawa tingkat Krama Inggil (bahasa Jawa halus yang biasa digunakan oleh kalangan priyayi tinggi). "Nanging asalipun menika saking bangsa Mur." Tapi, katanya, ia berasal dari bangsa Mur. Istilah "Mur" ini biasa digunakan oleh kelompok masyarakat ini mungkin berasal dari istilah yang digunakan oleh Portugis untuk menyebut suku Berber yang beragama Islam dari Maroko. Pak Amin tak pernah meninggalkan Kp Begog seumur hidupnya. Wajah pada usianya sekarang memang lebih mirip orang Jawa, karena mungkin, seperti dikatakan dalam sejarah, nenek-moyangnya telah menjalani asimilasi dengan orang pribumi. Pada isteri ketiganya (isteri pertama meninggal, isteri kedua cerai), Ny. Mastur (52), yang mengaku kakek-neneknya sudah bermukim di kawasan ini, garis wajah India masih tampak jelas. Hidungnya bangir, matanya besar, alis matanya tebal dan tatapannya tajam. Ia lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan intonasi bahasa Jawanya terasa aneh. Waktu kecil, Pak Amin mengaku hanya bermain dengan orang Jawa dan sesama orang Koja. "Tapi sama orang Cina kami tidak pernah bertengkar. Hubungan kami biasa-biasa saja," katanya. Gang-gang di kampung itu terasa penuh. Rumah-rumah yang rapat berdempetan itu sebagian besar dihuni etnis Koja dan Jawa. Tapi juga ada etnis Cina, seperti Sinshe Chan Mou Wien, yang sudah 50 tahun bermukim di tempat itu dan tidak ingin pindah ke tempat lain. Pekojan Tengah, Petolongan dan Kp. Begog yang merupakan konsentrasi hunian orang Koja di Semarang, luasnya hanya sepertujuh dari lima hektar luas wilayah Purwadinatan. Kepadatan penduduk di daerah ini sekitar 1.200 per hektar. * * * KATA Pak Amin, Pekojan dulu memang tempat bermukim orang Koja. Lama-kelamaan, keadaan berubah. Sedikit demi sedikit rumah dan tanah yang terletak di pinggir jalan, berpindah tangan. Di pinggir Jl. Pekojan saat ini memang dipenuhi pertokoan, dari toko kaca, toko obat tradisional Cina, toko emas dan lain-lain. Pekojan saat ini memang tampak seperti pecinan di kota-kota di Jawa pada umumnya. Memang masih ada mesjid yang dipercaya sebagai peninggalan para leluhur kota Semarang, sebuah masjid jami, yang sebagaimana masjid kuno lainnya di Indonesia, di sekitar bangunan peribadatan itu terdapat beberapa makam dan sekolah. "Kalau Lebaran, orang Koja yang sudah pindah ke mana pun, melakukan shalat Ied di sini. Acara halal bihalal dilanjutkan di jalanan Kampung Begog," ujar Achmad Tahir, seraya menambahkan, penyanyi dangdut terkenal A. Rafiq yang berasal dari kawasan itu. "Ia selalu datang kalau Lebaran. Shalat di sini." Keadaan itu menunjukkan, kawasan ini semula dihuni oleh kelompok yang lebih homogen. Kemudian, kelompok Cina yang oleh desakan Belanda pindah dari tepi Kali Garang di Simongan, kemudian juga membeli rumah-rumah atau tanah milik orang-orang Koja di Pekojan pada akhir abad ke-19. Mulyono tidak tahu kapan keluarganya mulai bermukim di kawasan itu. Yang ia tahu kakeknya sudah tinggal di tempat itu dan membuka usaha toko kaca dan besi yang sekarang berkembang menjadi besar. "Dulu usaha ini didirikan dengan kongsi. Bukan modal sendiri. Kakek saya hanya bekerja, bukan yang punya," kata Mulyono yang sekarang mempunyai lebih 20 pegawai. Kakek dari Abdullah Amin dulu berdagang kain-kain yang dipikul ke kampung-kampung. Ayahnya, Abdurrachman, seperti halnya orang Koja lainnya, berdagang jam di toko Switzerland di Pasar Johar. Ia sendiri mengenyam pendidikan sampai lulus Lagere School (setingkat SD pada zaman Belanda), pernah mengajar, juga pernah bekerja sebagai manajer di pabrik gelas milik orang Arab dan membawahi 90 pekerja. Pabrik ditutup ketika pemiliknya meninggal. Pak Amin keluar tanpa pesangon. Sekarang, ia mendapat tumpangan di rumah bekas muridnya, di belakang sebuah rumah yang bagian depannya digunakan sebagai balai kesehatan. Anak-anaknya tak ada yang menyelesaikan pendidikan setingkat SLTA. Satu dari lima anaknya kini melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian besar keturunan Koja, yakni berdagang kacamata dan jam. Di Pasar Johar Semarang, 80 persen pedagang jam dan kacamata adalah keturunan Koja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar